Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI RUTENG
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2022/PN Rtg BERTOLOMEUS JEMATU Kepala Kepolisian Sektor Reo Minutasi
Tanggal Pendaftaran Jumat, 02 Des. 2022
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2022/PN Rtg
Tanggal Surat Jumat, 02 Des. 2022
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1BERTOLOMEUS JEMATU
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Sektor Reo
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

 

Ruteng, 1 November 2022

 

Prihal        : Permohonan Praperadilan

 

Lampiran : 1 (satu) lembar Surat Kuasa Khusus

 

Kepada

Yth. Ketua Pengadilan Negeri Ruteng

Di        -

           Ruteng                                                                                                                                               

 

Dengan hormat,

Yang bertanda tangan di bawah ini:                                                       

 

Hipatios Wirawan Labut, S.H., NIK: 5310131806940002, Jenis Kelamin:  Laki-Laki, Agama: Katolik, Alamat: Gg. Mawar, RT.012/RW.003, Kel. Pasar Minggu, Kec. Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pekerjaan: Advokat, NomorIndukAdvokat (NIA): 20.901.2020, Masa Berlaku NIA: 15 Februari 2025, Nomor Berita Acara Sumpah      : W11.U/62/PS.01/ADV/II/2020, Warga Negara: Indonesia, Pendidikan: Sarjana Hukum, NomorTelepon: 081283760106, Alamat email: advokat.hwirawan@gmail.com.
FRIDOLINUS SANIR, S.H, NIK: 5102050303850002, Tempat Tanggal Lahir / Umur: Tureng 03 Maret 1985 / Umur: 34 Tahun, Kebangsaan: Indonesia, Agama: Katolik, Jenis Kelamin: Laki-laki, Status Perkawinan: Kawin, Pendidikan: S1, Pekerjaan: Advokat / Wartawan, Masa Berlaku KTA: 31 Desember 2024, Nomor KTA: 16.02767, Alamat: Jln Liang Bua, RT. 032 / RW. 010, Kelurahan Pau, Kec. Langke Rembong, Kab. Manggarai.
VALENTINUS DULMIN, S.H., M.H., NIK: 3171042104770007, Jenis Kelamin: Laki-Laki, Agama: Katolik, Alamat: Popor II. RT.011, RW.005, Desa WaeBelang, Kec. Ruteng, Kab. Manggarai, NTT, Pekerjaan: Advokat, NomorIndukAdvokat (NIA)        : 15.10570, Masa Berlaku NIA: 31 Desember 2024, Nomor Berita Acara Sumpah: W10-U/70/HK.00/ADV/12/2015, Warga Negara: Indonesia, Pendidikan: Magister Hukum, NomorTelepon: 081299827399.

 

 

Para Advokattergabungpada Kantor Hukum Hipatios& Partners Lawyerssementaraberalamatdi Jalan NggolongTede No 24, RT.05, RW.02, Kel. Waso, Kec. Langke Rembong, KabupatenManggarai, NTT. Berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 22 Oktober 2022, terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Ruteng No. 68/KS/2022/ PN.RTG, tanggal 1 Desember 2022, bertindak untuk dan atas nama / Penasihat Hukum dari; ----------------------------------------------------------------------------------------------

BERTOLOMEUS JEMATU, NIK: 3175012806740013, Tempat Tanggal Lahir: Manggarai, 28 Juni 1974, Jenis Kelamin: Laki-laki, Bangsa: Indonesia, Agama: Katolik,  Pekerjaan: Wiraswasta, Alamat: Jalan Harapan Jaya No. 6B, RT. 003 / RW. 012, Kelurahan Cipinang Melayu, Kec. Makasar, Jakarta Timur. Selanjutnya disebut sebagai PEMOHON.

 

Dengan ini mengajukan Permohonan Praperadilan terhadap:

Kepala Kepolisian Resort Manggarai Cq Kepala Kepolisian Sektor Reo Cq Kepala Satuan Reskrim Polres Manggarai Cq Kanit Reskrim Polsek Reo, yang beralamat di Jalan Katedral No. 1, Ruteng, Flores, NTT, selanjutnya dalam permohonan praperadilan ini disebut sebagai TERMOHON.

 

Untuk mengajukan permohonan  praperadilan terhadap penetapan tersangka dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP oleh Unit Reskrim Tindak Pidana Umum Polsek Reo.

 

Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut:

 

DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Maka dari itu penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan agar mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

 

Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan: praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Dalam perkembangannya pengaturan praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang pro rakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.

 

Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :

Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 JanuarI 2012
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
Dan lain sebagainya.

Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

Mengadili,

Menyatakan :

Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :

[dst]
[dst]
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

 

ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

1. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA.

Bahwa Pemohon dilaporkan ke Polsek Reo melalui laporan Polisi nomor: LP/11/VI/2022/Sek Reo, tanggal 17 Juni 2022 tentang adanya dugaan tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP. Selain Pemohon, dilaporkan pula dua saksi lainnya yaitu Rizal dan Alfridus Huwa.
Bahwa sebagaimana diketahui, Pemohon dan ketiga saksi lain yaitu saksi Alfridus Huwa, saksi Rizal dan saksi Oma Veronika Ige, dipanggil oleh Termohon melalui surat panggilan nomor: Spg/34/VIII/2022/Sek Reo, tanggal 8 Agustus 2022, yang dilaksanakan pada tanggal 10 Agustus 2022. Terhadap panggilan tersebut, Pemohon dan juga ketiga saksi tersebut dihadapkan dengan Termohon untuk memberikan keterangan sebagai saksi.
Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka melalui surat panggilan nomor: Spg/45/X/2022/Res Reo, tanggal 14 Oktober 2022 dan dijadwalkan beri keterangan sebagai Tersangka tanggal 18 Oktober 2022 dihadapan Termohon.
Bahwa perlu diketahui pula, pada saat kejadian tidak ditemukan luka pada wajah dan leher Terlapor dan saksi-saksi Terlapor pada saat itu sudah meninggalkan tempat kejadian. Namun diluar dugaan, tiba-tiba Pemohon ditunjukin oleh Termohon foto wajah dan leher Terlapor ada luka goresan. Dan ternyata foto tersebut difoto oleh Termohon di Mapolsek Reo. Jika yang ada dalam foto tersebut benar, maka dengan sendirinya bukti visum pun demikian adanya. Dalam pandangan Pemohon, ada rekayasa alat bukti yang dilakukan Termohon, khususnya alat bukti foto. Foto luka goresan yang ada di wajah dan leher Terlapor, menurut Pemohon, sudah diarahkan untuk dibikin luka oleh Termohon. Demikian pula saksi-saksi Terlapor yang faktanya telah meninggalkan tempat kejadian sebelum cekcok mulut antara Pemohon dan saksi-saksi Terlapor (Pemohon). Jika Termohon hanya memakai alat bukti yaitu bukti visum dan bukti keterangan saksi Pelapor dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, maka kuat dugaan telah menyalahgunakan wewenangnya untuk merampas hak asasi Pemohon yang harus dilindungi didepan hukum. Sementara munculnya alat bukti tersebut sarat rekayasa dan dengan mengesampingkan alat bukti keterangan saksi Terlapor (Pemohon).
Bahwa apa yang diuraikan tersebut diatas dengan merujuk melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014, MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
“Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia)”.
Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Penganiayaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP oleh Termohon kepada Pemohon, mengingat dalam pemeriksaan oleh Termohon, Termohon selalu mendasarkan pada alat bukti dimana, baik Pemohon sendiri (Tersangka), dan tiga saksi lain yaitu Rizal, Alfridus Huwa dan Veronika Ige sama sekali tidak diakomodir sebagai bukti yang cukup, hanya mengakomodir bukti keterangan saksi Pelapor. Padahal Pemohon (Terlapor) dan tiga saksi lain yaitu Rizal, Alfridus Huwa dan Veronika Ige sama-sama berada di tempat kejadian.
Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.
Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan tidak diakomodirnya keterangan saksi Terlapor (Pemohon) sebagai salah satu alat bukti lalu hanya mengakomodir saksi-saksi Pelapor dan visum et repertum yang sarat rekayasa merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo.

2. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN.

Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon, penetapan tersangka atas diri Pemohon berdasarkan surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan nomor: Spg/45/X/2022/Res Reo, tanggal 14 Oktober 2022.
Bahwa perlu diketahui pula, pada saat kejadian tidak ditemukan luka pada wajah dan leher Terlapor dan saksi-saksi Terlapor pada saat itu sudah meninggalkan tempat kejadian. Namun diluar dugaan, tiba-tiba Pemohon ditunjukin oleh Termohon foto wajah dan leher Terlapor ada luka goresan. Dan ternyata foto tersebut difoto oleh Termohon di Mapolsek Reo. Jika yang ada dalam foto tersebut benar, maka dengan sendirinya bukti visum pun demikian adanya. Dalam pandangan Pemohon, ada rekayasa alat bukti yang dilakukan Termohon, khususnya alat bukti foto. Foto luka goresan yang ada di wajah dan leher Terlapor, menurut Pemohon, sudah diarahkan untuk dibikin luka oleh Termohon. Demikian pula saksi-saksi Terlapor yang faktanya telah meninggalkan tempat kejadian sebelum cekcok mulut antara Pemohon dan saksi-saksi Terlapor (Pemohon). Jika Termohon hanya memakai alat bukti yaitu bukti visum dan bukti keterangan saksi Pelapor dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, maka kuat dugaan telah menyalahgunakan wewenangnya untuk merampas hak asasi Pemohon yang harus dilindungi didepan hukum. Sementara munculnya alat bukti tersebut kuat dugaan sarat rekayasa dan dengan mengesampingkan alat bukti keterangan saksi Terlapor (Pemohon).
Bahwa tindakan Termohon menerbitkan surat penetapan tersangka terhadap Pemohon baru diterima Pemohon tanggal 30 November 2022, sementara surat penetapan tersangka telah terbit tanggal 7 Oktober 2022.
Bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan Penyidik yang melakukan tindakan diluar kewenangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 7 KUHAP. Juga tindakan Penyidik demikian sudah jelas melanggar Konstitusi (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM”.
Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, tindakan Penyidik yang diduga kuat merekayasa alat bukti merupakan tindakan diluar kewenangannya serta merampas hak asasi Pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka terhadap Pemohon tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.

3. TINDAKAN TERMOHON SAAT MEDIASI MURNI MERUPAKAN HUBUNGAN HUKUM KEPERDATAAN

Bahwa sebagaimana diketahui, Termohon melalui surat undangan klarifikasi terhadap Pemohon Nomor: B/21/VI/2022/Sek. Reo, tanggal 28 Juni 2022 dan dijadwalkan pada tanggal 29 Juni 2022, Pemohon dan dua saksi lain yaitu Rizal dan Alfridus Huwa hanya memberikan klarifikasi yang dimuat dalam berita acara interogasi (BAI) dihadapan Penyidik Polisi atas nama Brigpol Haryanto Manggu Raja.
Bahwa sebagaimana diketahui, Termohon dengan tanpa surat undangan klarifikasi yang dijadwalkan tanggal 6 Juli 2022, Pemohon, dua saksi lain yaitu Rizal dan Alfridus Huwa dan saksi Oma Veronika Ige menyampaikan klarifikasi tambahan yang dimuat dalam berita acara interogasi (BAI) dihadapan Penyidik Polisi atas nama Aipda Syamsul Sidik.
Bahwa sebagaimana diketahui pula, Termohon melalui surat undangan mediasi, tanggal 25 Juli 2022 yang dijadwalkan tanggal 28 Juli 2022, Pemohon dan ketiga saksi yaitu Rizal dan saksi Oma Veronika Ige diundang oleh Termohon, melalui surat undangan mediasi Nomor: B/73/VII/2022/Sek Reo tanggal 25 Juli 2022 yang dilaksanakan pada tanggal 28 Juli 2022 dihadapan Penyidik Polisi Aipda Syamsul Sidik. Saat mediasi berlangsung ketika itu, Termohon seolah-olah mewakili kepentingan pelapor Filomena Titin Sumarni. Hal itu Pemohon ketahui dengan mendapatkan salinan surat pernyataan usulan perdamaian melalui jaringan elektronik WhastApp dari Termohon in casu Penyidik Polisi Aipda Syamsul Sidik. Bahwa dalam usulan perdamaian dari pelapor Filomena Titin Sumarni yang Pemohon duga dibuat oleh Termohon sama sekali tidak beririsan langsung dengan pokok masalah pidana yaitu dugaan tindak pidana. Malah menawarkan beberapa tanah warisan dari keluarga Pemohon untuk dijadikan hak milik oleh Pelapor Filomena Titin Sumarni. Hal inilah yang menurut Pemohon, proses dugaan tindak pidana dengan diintervensi oleh proses perdata. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, Termohon in casu Penyidik Polisi Aipda Syamsul Sidik menemui Pemohon dan tiga saksi lain yaitu saksi Alfridus Huwa, saksi Rizal dan saksi Oma Veronika Ige untuk mempengaruhi agar Pemohon merelakan beberapa tanah warisan dari keluarga Pemohon untuk diberikan ke Pelapor Filomena Titin Sumarni dengan tujuan laporan Polisi dicabut.
Bahwa saat mediasi berlangsung, Termohon mencampur-adukan antara perkara pidana dan perdata. Padahal Pasal yang didugakan menurut laporan Polisi dalam perkara a quo berkenaan dengan tindak pidana penganiayaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP. Semestinya dalam mediasi tindak pidana konteksnya menyampaikan pokok pikiran antara Pelapor/korban dan Terlapor mengenai dugaan Pasal pidana yang didugakan. Tetapi justru tawaran yang disampaikan berkaitan dengan persoalan warisan tanah yang mana porsinya berada diwilayah lapangan hukum keperdataan.
Berdasarkan uraian dan analisa tersebut diatas, maka jelas upaya mediasi pidana tidak dapat dicampur-adukan dengan penegakan hukum keperdataan dan upaya mediasi dalam perkara a quo cacat hukum, untuk penetapan tersangka terhadap Pemohon tidak sah.

PETITUM

 

Berdasarkan argument dan fakta-fakta yuridis di atas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ruteng yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :

 

Mengabulkan permohonan praperadilan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

 

Atau ;

Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ruteng yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

 

 

Hormat kami,

Advokat / Penasehat Hukum Pemohon

 

 

 

 

HIPATIOS WIRAWAN LABUT, S.H.

 

 

 

FRIDOLINUS SANIR, S.H

 

 

 

VALENTINUS DULMIN, S.H., M.H.

 

             

 

 

 

 

Pihak Dipublikasikan Ya